Fahmi tidak pernah menyangka akan terlahir
dengan keadaan yang cacat. Fisiknya sempurna, kedua kakinya berfungsi dengan
baik, begitupun dengan tangan, telinga, mata dan hidungnya. Semuanya baik-baik
saja. Hanya saja satu hal yang tidak pernah diinginkan, ia terlahir dengan satu
ginjal. Satu ginjal untuk menopang seluruh aktivitas ekskresi dalam tubuhnya.
Dia tampak selalu tegar dalam menjalani hidupnya yang mungkin sebenarnya tidak
sempurna. Namun dia mencoba hidup layaknya manusia normal. Dia tidak sendiri.
Kakaknya selalu mendampingi dan mengasihi dia sepenuh hati.
“Kak,
belum tidur?”
“Belum,
ada apa?”
“Hera
sakit, ka.”
“Hera?
Pacar baru kamu ?”
“Iya
kak. Dia kena gagal ginjal. Dan ginjal aku cocok.”
“Apa?
Kamu Cuma punya satu ginjal. Kenapa kamu malah mau ngedonorin ginjal
kamu.”
“Aku
engga mau putus sama Hera, kak.”
“Maksud
kamu?”
“Hera
memaksa aku untuk mendonorkan ginjal aku. Kalau aku engga ngasih ginjal ini,
Hera mau putusin aku. Lagipula Hera engga pernah tau kalau aku hanya memiliki
“Gila
kamu!”
“Aku
baik-baik aja, kak.”
“Gila!
Ginjal kamu Cuma satu, mau kamu kasih ke cewe yang belum tentu cinta sama
kamu.
Setelah itu kamu akan mati dan Hera akan bahagia dengan lelaki lain.”
“Ini
pengorbanan cintaku!”
Fahmi
pergi meninggalkan percakapan sengit itu. Suasana hening. Amarah Heru semakin
melumpuhkan kesabarannya. Matanya masih menatap ke arah perginya Fahmi.
Otot-otot tubuh Heru yang tegang mendadak melemas. Keringat dingin mengucur
dari dahi hingga lehernya.
“Kalau
sampai terjadi sesuatu dengan Fahmi. Demi Tuhan aku bersumpah, aku akan
mengambil ginjal dari setiap wanita yang menjadi kekasihku nanti. Aku berjanji!”
Matahari
mulai terbit dari ufuk timur dengan kehangatan yang menyelimuti. Fahmi masih
terbaring lemah dengan luka bekas operasi semalam. Dokter saja tidak mencegah
hal tersebut. Entah apa yang telah Fahmi katakan kepada dokter, sampai dokter
tetap melanjutkan operasinya malam itu.
Suara
telepon itu mengejutkan Heru yang masih terlelap dalam tidurnya.
“Keluarga
Fahmi?”
“Betul.”
Telepon
genggam yang baru dibelinya seminggu yang lalu tiba-tiba terlepas dari
genggamannya dan lalu perlahan Heru terduduk sambil melihat ke arah foto
keluarga.
“Maafin
Heru, bu. Engga bisa jaga Fahmi.”
Ya.
Hal yang ditakutinya terjadi. Fahmi mengorbankan ketidaksempurnaannya itu untuk
Hera yang ternyata tidak mencintai Fahmi sepenuhnya. Terlihat saat Hera telah
sehat kembali dengan ginjalnya Fahmi, tak sedikitpun Hera menginjakkan kakinya
di pusara Fahmi atau hanya sekedar menaruh bunga atau sekedar mendoakan Fahmi.
Kebencian
Heru semakin menjadi ketika Heru mendapati Hera sedang bersama lelaki lain,
sebelum 40 hari kepergian Fahmi. Perempuan macam apa dia !
“Pusara
siapa?”
Seorang
wanita berjilbab mendekati Heru yang tengah meratapi kepergian adiknya.
“Adik
saya.”
“Kenapa
dia? Maaf itupun kalau boleh saya tau.”
Heru
pergi meninggalkan perempuan itu tanpa satu katapun yang keluar dari mulutnya.
“Fahmi,
mengapa kamu sebodoh itu! Lihat! Lihat! Tidak sedikitpun Hera menghargai pengorbanan
kamu!”
0 komentar:
Posting Komentar